|
Jumat, 23 Desember 2011, Kampus IAIN Sunan Ampel
Surabaya membuat sejarah. Tak seperti lazimnya, Rhoma Irama sang legenda
hidup musik Indonesia tampil , bukan untuk pagelaran musik atau berdakwah,
tetapi memberikan stadium generale, sebuah istilah akademis yang tidak
pernah dikaitkan dengan dangdut. Namun, IAIN Sunan Ampel , Soneta Fans Club
Indonesia-Jatim dan PAMMI Jatim mengkaitkan keduanya dan jadilah acara
tersebut bertajuk “ Musik sebagai Media Dakwah, Kiprah 41 tahun Soneta dalam
Blantika Musik Nasional” digelar di auditorium IAIN Sunan Ampel.
Intelektualisasi dangdut (baca: masuknya dangdut di
dunia akademis dan kajian ilmiah) sesungguhnya telah lama berlangsung,
setidaknya dimulai paruh 85 an, seorang profesor sosiologi Universitas
Ohio, AS, William Frederick membuat disertasi “Rhoma Irama and the
Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture”. Selain
itu, yang relatif baru, Andrew Weintraub menerbitkan “ Dangdut Stories “ dan
yang paling teranyar karya mahasiswa Unair, Sdr. Hardi menuliskan skripsi “
Bentuk, Makna, dan Pengaruh Lagu Dangdut Rhoma Irama terhadap Masyarakat
Penggemar di Surabaya “. Pada September 2011, kumpulan mahasiswa jurusan
humaniora Universitas Indonesia mengkaji tentang Rhoma Irama bertajuk “musik
sebagai kritik sosial”.
Intelektualisasi dangdut di atas
mendiskripsikan betapa Rhoma Irama beserta Soneta telah menjadi pusat
penelitian dan kajian ilmiah, dimulai sejak pertengahan karirnya hingga saat
ini. Kiprah sang raja selama 41 tahun telah membuktikan kesan kuat bagi
setiap hati masyarakat Indonesia, khususnya penggemar setianya. Sebagai
artis, ulama, pemain dan sutradara film, politisi, penyair, dan industriawan
musik, Rhoma terus aktif memproduksi syair, ajakan, nilai dan alunan musik
yang menghibur rakyat Indonesia, dan ini semakin melengkapinya sebagai wacana
dan fenomena yang terus didiskusikan.
Stadium generale yang diselenggarakan
IAIN Sunan Ampel tentang kiprah 41 tahun soneta dalam blantika musik
nasional, kian membuktikan bahwa Rhoma telah menyejarah, tidak hanya bagi
kalangan penggemar dangdut, tetapi juga bagi generasi muda intelektual. Yang
kedua ini sangat menarik. Kesan bahwa mahasiswa/i jauh dari dangdut
setidaknya bisa terbantahkan. Antusiasme, gegap gempita, kagum, apresiatif,
terharu, riuh rendah dan bahkan pekikan Allahuakbar saat mendengar Rhoma
Irama menyampaikan orasi tentang perjalanan karir dan musik soneta merupakan
suasana historis yang menjadi bagian catatan hidup sang legenda. Terlebih
alunan musik paduan suara yang sangat padu, apik, kompak, nyentrik dan merdu,
yang mengiringi acara ini, menjadi hiburan tersendiri. Para fans soneta yang
hadir sangat bangga ternyata adik-adik mahasiswa yang manis manis itu mampu
mendendangkan lagu-lagu karya Rhoma Irama seperti “ LAA ILLAHA ILLALLAH, STOP, UKHUWAH, AZZA dan BERDENDANG”. Rhoma pun tersenyum, terharu dan bangga dengan
penampilan paduan suara asuhan Ahmad Khubby Ali, seorang fans soneta surabaya
yang juga menjadi pengajar di kampus tersebut dan Surya Aka Syahnagra, ketua
SFCI Jatim dan anggota KPID Jawa Timur.
Prof. Nur Syam, sang rektor dan cendekiawan yang giat
menulis tentang islam juga menyimpan kenangan dengan lagu Rhoma Irama, dan
ini sempat dibawakan ketika ia mengikuti diklatpim di Jakarta. Beliau sangat
menyukai lagu-lagu pak haji sejak dulu. Lagu kesukaannya adalah “CANE”. Beliau sampai mengatakan bahwa masyarakat kampus IAIN
Sunan Ampel termasuk dangdut mania, dan untuk itu berjanji akan mengundang Soneta Group untuk konser
di Kampus IAIN Sunan Ampel tahun depan. Janji sang rektor disambut gembira
dan gegap gempita oleh para hadirin, tentu dengan harapan janjinya agar dapat
diwujudkan.
Rhoma Irama tidak hanya pandai menyanyi, tetapi juga
piawai menyampaikan pidato yang terstruktur dihadapan para intelektual muda.
Secara kronologis, sistematis dan padat, Rhoma menguraikan sejarah karir dan
perjalanan soneta. Sepanjang pidatonya, penulis menangkap beberapa hal yang
penting untuk diungkap. Pertama, Rhoma berani mendobrak kultur
masyarakat Indonesia yang ketika itu seolah maklum kalau musik tidak dapat
disatukan dengan agama. Saat itu, group group musik yang ada sangat jarang
bahkan tidak ada yang memasukan dalil-dali/simbol-simbol agama (islam) ke
dalam musik dan konser pertunjukan. Rhoma Irama-lah yang memulai kalimat assalamua’alaikum
di setiap
awal konsernya. Selanjutnya Rhoma mengutip dalil Al Quran dan Al hadits
sebelum membawakan lagu-lagu dakwahnya. Kesan ini terekam oleh masyarakat
Indonesia selama bertahun-tahun. Belum lagi suara khas, model pakaian Rhoma
Irama dan gaya joged personil soneta saat tampil di panggung baik off air maupun on air di televisi,
semuanya melengkapi public image seorang Rhoma
Irama. Jika ada perdebatan sejarah politik Indonesia tentang hubungan agama
dan negara yang kini tampaknya belum usai diperbincangkan, maka secara mikro,
Rhoma telah sukses mengawinkan antara musik dangdut dan agama. Ini bisa
dilihat dari sikap beliau yang mendeklarasikan soneta sebagai sound of
moeslem pada 13
Oktober 1973. Pada konteks ini, Rhoma sesungguhnya telah mengawali dan
memberikan kontribusi besar terhadap eksistensi musik religi yang sekarang
juga kerap dibawakan oleh para penyayi berbagai aliran.
Kedua, sepanjang 41 tahun berkarir, Rhoma
telah memainkan banyak film dan menciptakan lagu dengan beragam tema yang
mewakili perasaan penggemar dan pendengarnya dalam semua sisi kehidupan, dan
hal ini sudah banyak ditulis oleh banyak pengamat. Dalam meniti perjalanan
karirnya, Rhoma dan Soneta bukan tanpa hambatan. Karena berbeda pandangan dan
sering mengkritik pemerintah Orde Baru, Rhoma sempat dicekal di TVRI selama
11 (sebelas tahun), tahun 1977 sd 1988. Rhoma tampil kembali di TVRI pada
bulan Mei 1988, membawakan lagu “JUDI” dalam acara Kamera Ria yang meledak
di pasaran. Secara pribadi, Rhoma sebagai manusia juga banyak mengalami
fitnah. Misalnya saja media selalu mengkaitkan isu poligami. Tetapi Rhoma
tidak bergeming sementara para penggemarnya juga tidak terpengaruh. Sementara
ada public figur lain yang merosot karirnya hanya karena menikah lagi.
Ketiga, dalam pidato tersebut, Rhoma juga
meluruskan pernyataan Alm KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang menyatakan
bahwa tidak ada pintu untuk berdakwah di dalam bermusik. Rhoma prinsipnya
setuju dengan pernyataan Gus Dur, tetapi Rhoma melihat ada celah dalam pintu
tersebut dan ini yang tidak dilihat Gus Dur. Karena yang ada hanya celah,
maka tidaklah mudah melakukan dakwah di dalam bermusik. Rhoma juga
menyayangkan misalnya jika ada penonton yang mabuk saat menyaksikan
konsernya, tetapi Rhoma berbesar hati karena sebagian besar penonton dan
pemirsa yang jumlahnya ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang yang ada di
rumah dapat menyaksikan pesan-pesan yang disampaikan secara sadar dan
terhibur. Ia mengibaratkan kondisi ini seperti di masjid. Di masjid meskipun ada
sholat berjamaah dan pengajian, pencurian sandal masih sering terjadi. Sebuah
perumpamaan yang sederhana dan tepat. Meskipun ada mudharatnya, manfaatnya
jauh lebih besar.
Keempat, dalam kesempatan menjadi narasumber
di Kampus Pittsburgh, Amerika Serikat (AS), Rhoma
Irama mendapatkan informasi dari Profesor Andrew Weintraub, seorang peneliti
AS yang aktif di musik dangdut, mengatakan bahwa musik dan syair lagu-lagu
Rhoma Irama telah dipelajari di kurang lebih 70 kampus di dunia. Rhoma sempat
terkejut dan meminta penjelasan Andrew Weintraub. Andrew menjelaskan bahwa
dunia membutuhkan syair-syair Rhoma Irama yang isinya bercerita tentang
kehidupan umat manusia agar berperilaku baik. Selain itu, instrumen musik
yang dibawakan Rhoma dan Soneta juga berbeda dan menjadi inspirasi bagi
pemusik dunia. Melihat realitas ini, sungguh ironis, apabila selama ini
kampus-kampus dan peneliti-peneliti di Indonesia lambat merespon fenomena
Rhoma Irama dan Soneta. Maka, two thumbs up untuk kampus IAIN Sunan
Ampel Surabaya yang mengambil inisiatif mengundang Rhoma Irama menjelaskan
ini semua.
Pesan kuat yang dapat dipetik dari acara ini adalah
betapa musik dangdut yang dibawakan Rhoma Irama dan Soneta telah menghibur
dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia baik secara sadar maupun tidak.
Mewarnai kehidupan politik pada eranya, pergaulan sosial secara luas dan
bahkan percaturan musik dunia. Rhoma Irama dan Soneta kini ditempatkan secara
terhormat di hati masyarakat Indonesia dan penggemarnya, dari berbagai
golongan kelas, kaya dan miskin, cendekiawan dan awam bahkan untuk seluruh
umat manusia.
Penulis adalah alumni Universitas
Islam Jakarta,
FB : Soleh Mohamad ( ahmad_dinan@yahoo.com )
|
No comments:
Post a Comment