Sunday, April 29, 2012

Bubi Chen, Tak Tergantikan


JAKARTA, suaramerdeka.com - Seberapa luar biasa warisan yang ditinggalkan seorang maestro musik jazz sekelas Bubi Chen bagi bangsa Indonesia? Apakah semata teknik permainan pianonya, atau karena keluwesannya sudi bekerja sama dengan sejumlah musisi dengan berbagai latar belakang musikal, yang membuatnya tak tergantikan. Menurut pemerhati musik Denny Sakrie keluarbiasaan Om Bubi -demikian dia menyapa Bubi Chen- yang meninggal Kamis (16/2) dalam perjalanan menuju RS Telogorejo dari rumah kontrakannya di Semarang, meninggalkan lubang yang besar bagi seniman dan penimat musik jazz di Indonesia.
Sebab, dalam catatannya, sebagai seorang seniman yang mengawali karir profesional sebagai musisi jazz pada tahun 1955 di kota Surabaya, Bubi mendedikasikan hidupnya secara penuh, tumpah, dan total kepada musik jazz hingga akhir hayatnya. Bahkan dalam gelaran Java Jazz 2012, sebagaimana rilis resmi panitia penyelenggara pada Kamis (16/2), nama Bubi Chen nasih menjadi salah satu "jualan" utama di gelaran tingkat dunia itu. Bahkan sebagai salah satu penulis di majalah tahunan Music yang merupakan majalah resmi Java Jazz, laporan utama tentang sepakterjang Bubi Chen telah usai ditulis Denny, dan siap diedarkan dalam waktu dekat ini.
Bubi yang dari bocah telah mahir memainkan berbagai nomor klasik milik Beethoven hingga Mozart, dikenal luas karena kemampuannya mengembangkan skill bermusiknya secara otodidak. "Bahkan dia melakukan khusus tutorial mengikuti kursus tertulis di Wesco School of Music, New York dan salah satu tutornya adalah Teddy Wilson," kata Denny di Jakarta, Jum'at (17/2). Theodore Shaw "Teddy" Wilson (1912 - 1986) adalah seorang pianis jazz dari Amerika, yang dikenal kerena kecanggihan menarikan jarinya di atas tuts piano. Dia mempunyai style tersendiri, sehingga kerap dilibatkan dalam berbagai proses rekaman oleh sejumlah musisi jazz besar dunia seperti Louis Armstrong, Lena Horne, Benny Goodman, Billie Holiday, hingga Ella Fitzgerald.
Bahkan jauh sebelum ngangsu ilmu kepada Teddy Wilson, Bubi sudah membuat sejumlah pemerhati dan kritikus musik jazz di mancanegara terheran-heran dengan bakat besarnya. Teristimewa, masih menurut Denny, ketika dirinya di bawah bendera Lokananta pada tahun 1958 merilis album, Bubi Chen Kwartet. Dari album inilah, nasib membawa musik Bubi ke berbagai belahan negara, yang kemudian diasup berbagai pemerhati musik, dan membuatnya mendapatkan kritikan positif. "Bahkan ada seorang kritikus jazz yang menyandingkan nama Bubi sejajar dengan nama Art Tatum, pianis jazz Amerika yang nyaris tidak pernah kehilangan satu not pun dalam permainannya," katanya. Padahal, imbuh dia, jenis permainan piano Bubi adalah swing dan bebop, yang notabene mempunyai tingkat kesulitan yang sangat tinggi.
Warisan dunia
Terlebih ketika pada tahun 1967 bersama Indonesia All Stars, yang beranggotakan Jack Lesmana, Maryono, Kiboud Maulana, Benny Mustapha dan kakaknya Jopie Chen, dibawa Tony Scott, seorang peniup klarinet yang tertarik dengan bakat besar Bubi, untuk unjuk kebisaan di Berlin Jazz Festival. Dari sinilah, pujian ditujukan kepada Bubi, dan ajakan tawaran masuk dapur rekaman akhirnya menghasilkan album legendaris berjudul,
Djanger Bali. Di album ini, sepenceritaan Denny sejumlah komposisi seperti "Ilir-Ilir", dan nomor standar "Summertime", yang dibawakan dengan warna Sunda dan Jawa, makin menghangatkan nama Bubi. "Jadi jauh sebelum para musisi jazz masa kini melakukan eksplorasi musikal, Om Bubi telah melakukan itu."
Atas alasan itulah, Bubi Chen sudah dapat dikatakan warisan dunia, bukan hanya Indonesia. Selain karena juga dia mempunyai kelenturan dalam berkolaborasi dengan seniman musik siapa saja. Bahkan pada tahun 1988 Bubi mau dan senang hati mengisi piano dalam salah satu singgel di album milik Doel Sumbang berjudul, Arti Kehidupan. Setahun kemudian, pada 1989 di album Kedamaian, dia bekerja sama secara musikal dengan tiga seniman karawitan. Dengan komposisi dua pemusik kecapi, satu seniman seruling dan Bubi sendiri memainkan piano. Pada album Kedamaian ini, berbilang tahun kemudian apa yang dilakukan Bubi kemudian dikenal dengan istilah etnik jazz. Tak ketinggalan pada 2005 Piyu "Padi" pada singgel berjudul "Elok" yang termaktub di album Padi juga melibatkan Bubi.
"Apa yang dilakukan Bubi bekerja sama secara musikal dengan siapa saja, menunjukkan dia welcome dengan siapa pun. Tanpa harus menghilangkan kejatidiriannya,"kata Denny. Contoh konkritnya, ketika pada 2004 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) dalam sebuah pementasan bertajuk "The Art of Duo", Bubi bersanding dengan Indra Lesmana, tepat tanggal 16 Februari, bebarengan dengan hari kepergian Bubi Chen, kemarin. Saat itu, sepenceritaan Indra Lesmana kepada Denny, Bubi Chen sudah nyaris tidak mampu mendengar apa-apa, kecuali ada alat bantu dengar yang menempel di telinganya.   
"Indra bercerita kepada saya, Om Bubi main pakai insting dan felling aja, tapi bener semua," katanya.
Senada denga Denny, Bens Leo pemerhati musik lainnya mengatakan, Bubi Chen adalah warisan Indonesia yang tidak tergantikan. Selain secara pribadi sangat ramah, katanya, permainan musiknya unik sekaligus luar biasa. "Dia bahkan dimasukkan sebagai enam besar pianis besar dunia," katanya merujuk salah sebuah majalah musik terbitan Amerika. Manusia seperti Bubi Chen, sebagaimana Jack Lesmana dan Embong Rahardjo, imbuh Bens, dalam kazanah musik Indonesia adalah warisan Indonesia yang membanggakan. Dan oleh karenanya pantas disebut sebagai manusia hebat.
 
Sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2012/02/17/5498/Bubi-Chen-Tak-Tergantikan

No comments:

Post a Comment