Bubi Chen Sempat
Dijuluki Pianis Jazz Terbaik Asia
TEMPO.CO,
Semarang
- Musisi jazz senior Bubi Chen meninggal pada usia 74 tahun di Rumah
Sakit Telogorejo, Semarang, Kamis sekitar pukul 19.05 WIB. Menurut
Juru Bicara Rumah Sakit Telogorejo Semarang Nana Noviada, Bubi Chen
diduga meninggal karena penyakit diabetes mellitus sejak beberapa
tahun terakhir.
Bubi dikenal sebagai maestro jazz Indonesia. Pada 1967, majalah musik terkemuka, Down Beat, menyebut Bubi alias Suprawoto, ''Pianis jazz terbaik di Asia.''
Untuk menjadi pemusik jazz, Bubi harus mulai dengan sebuah ''pemberontakan'', ketika usianya baru 13 tahun. Suatu sore, pada 1951, ia kepergok guru musiknya, Jozef Bodmer (berkebangsaan Swiss), tengah memainkan sebuah aransemen jazz dengan pianonya. Padahal, Bubi dididik menekuni musik klasik.
Sang guru mula-mula terperanjat, tetapi akhirnya tersenyum. Dua tahun sesudah itu, Bodmer justru menyarankan pada Buby supaya terus menekuni jazz. ''Saya tahu, itulah duniamu yang sebenarnya,'' kata sang guru, seperti kemudian Bubi kepada Tempo pada 1982.
Puluhan tahun kemudian, semua pihak setuju bahwa anak bungsu dari delapan bersaudara Tan Khing Hoo -- pemain biola yang mahir -- ini ikut andil dalam perkembangan sejarah jazz di Indonesia.
Mengapa jazz? ''Improvisasinya lebih kaya, tidak seperti musik klasik yang terikat oleh berbagai aturan. Dan pemain jazz tidak selalu harus tunduk pada komposer,'' jawab Bubi pada 1982. Kecuali itu, ''Sejak kecil lingkungan saya jazz.'' Kakak-kakaknya, di tahun 1940-an, sudah sering memainkan jazz di rumah -- secara sembunyi-sembunyi.
Ketika masih buta huruf, oleh ayahnya Bubi dikursuskan pada Di Lucia, guru piano asal Italia yang, dengan caranya sendiri, sanggup membuat Bubi mampu membaca not balok. ''Saya kagum pada lelaki itu,'' kata Bubi. Istilah-istilah ilmiah dunia jazz didapatkan Buby melalui kursus tertulis 1955-1957 pada Wesco School of Music di New York -- dengan guru antara lain Tedy Wilson, murid salah seorang dewa jazz Benny Goodman.
Lalu, adakah jazz Indonesia? Jawabnya, ''Jazz Indonesia pasti bisa ada, kalau kita mau memperhatikan kebudayaan sendiri. Sense of culture harus dipunyai setiap pemusik. Berangkat dari sini, kita akan melihat jazz Indonesia.''
Bubi sering main tanpa bayaran. Ia memang benci pada komersialisasi musik. ''Penghayatan seni melalui uang artinya kejahatan, kriminal,'' kata aktivis kelompok pemain jazz The Indonesia All Star ini.
Waktu kecil, ''Saya ingin menjadi insinyur atau arsitek,'' tuturnya. Sampai terakhir, ia masih punya hobi pada fotografi dan elektronika. Bubi juga membuat replika beberapa model pesawat terbang, suatu kegiatan yang, menurut seorang psikolog, tidak boleh ia lepaskan. ''Karena waktu muda saya tidak sabaran, ingin selalu cepat selesai, dan rapi,'' katanya. Toh, di belakang hari, ia bisa memimpin Bubi Chen & Circle Jazz 5080.
Buby menikah dengan Anne Chiang, 1963, di Surabaya, dan kini ayah empat anak.
Bubi dikenal sebagai maestro jazz Indonesia. Pada 1967, majalah musik terkemuka, Down Beat, menyebut Bubi alias Suprawoto, ''Pianis jazz terbaik di Asia.''
Untuk menjadi pemusik jazz, Bubi harus mulai dengan sebuah ''pemberontakan'', ketika usianya baru 13 tahun. Suatu sore, pada 1951, ia kepergok guru musiknya, Jozef Bodmer (berkebangsaan Swiss), tengah memainkan sebuah aransemen jazz dengan pianonya. Padahal, Bubi dididik menekuni musik klasik.
Sang guru mula-mula terperanjat, tetapi akhirnya tersenyum. Dua tahun sesudah itu, Bodmer justru menyarankan pada Buby supaya terus menekuni jazz. ''Saya tahu, itulah duniamu yang sebenarnya,'' kata sang guru, seperti kemudian Bubi kepada Tempo pada 1982.
Puluhan tahun kemudian, semua pihak setuju bahwa anak bungsu dari delapan bersaudara Tan Khing Hoo -- pemain biola yang mahir -- ini ikut andil dalam perkembangan sejarah jazz di Indonesia.
Mengapa jazz? ''Improvisasinya lebih kaya, tidak seperti musik klasik yang terikat oleh berbagai aturan. Dan pemain jazz tidak selalu harus tunduk pada komposer,'' jawab Bubi pada 1982. Kecuali itu, ''Sejak kecil lingkungan saya jazz.'' Kakak-kakaknya, di tahun 1940-an, sudah sering memainkan jazz di rumah -- secara sembunyi-sembunyi.
Ketika masih buta huruf, oleh ayahnya Bubi dikursuskan pada Di Lucia, guru piano asal Italia yang, dengan caranya sendiri, sanggup membuat Bubi mampu membaca not balok. ''Saya kagum pada lelaki itu,'' kata Bubi. Istilah-istilah ilmiah dunia jazz didapatkan Buby melalui kursus tertulis 1955-1957 pada Wesco School of Music di New York -- dengan guru antara lain Tedy Wilson, murid salah seorang dewa jazz Benny Goodman.
Lalu, adakah jazz Indonesia? Jawabnya, ''Jazz Indonesia pasti bisa ada, kalau kita mau memperhatikan kebudayaan sendiri. Sense of culture harus dipunyai setiap pemusik. Berangkat dari sini, kita akan melihat jazz Indonesia.''
Bubi sering main tanpa bayaran. Ia memang benci pada komersialisasi musik. ''Penghayatan seni melalui uang artinya kejahatan, kriminal,'' kata aktivis kelompok pemain jazz The Indonesia All Star ini.
Waktu kecil, ''Saya ingin menjadi insinyur atau arsitek,'' tuturnya. Sampai terakhir, ia masih punya hobi pada fotografi dan elektronika. Bubi juga membuat replika beberapa model pesawat terbang, suatu kegiatan yang, menurut seorang psikolog, tidak boleh ia lepaskan. ''Karena waktu muda saya tidak sabaran, ingin selalu cepat selesai, dan rapi,'' katanya. Toh, di belakang hari, ia bisa memimpin Bubi Chen & Circle Jazz 5080.
Buby menikah dengan Anne Chiang, 1963, di Surabaya, dan kini ayah empat anak.
Sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2012/02/16/112384548/Bubi-Chen-Sempat-
Dijuluki-Pianis-Jazz-Terbaik-Asia
No comments:
Post a Comment