Dari Buaya Keroncong hingga Buaya
Darat
Banyak orang mengenalnya sebagai
seniman serba-bisa. Kesuksesan pula yang membuat hidup melarat di usia senja.
OLEH: DARMA ISMAYANTO
BAGI
penikmat dunia hiburan tanah di zaman baheula, namanya tentu tak asing lagi.
Dia tergolong artis serba-bisa. Menyanyi. Berakting. Tampil di atas panggung.
Padahal kariernya dimulai dari seorang kacung dalam sebuah rombongan sandiwara
di Bandung, melakukan pekerjaan menyapu hingga membersihkan alat musik.
Tan
Tjeng Bok masih berumur 13 tahun kala itu. Di rombongan sandiwara De Goudvissen
ini, dia tak mendapat gaji. Hanya makannya ditanggung. Imbalan paling berarti
baginya adalah alunan suara dari sang penyanyi pujaan Ben Oeng (Beng). Tjeng
Bok memendam hasrat pada dunia tarik suara.
Tak
dinyana, keberuntungan datang padanya. Beng berhalangan tampil, dia pun didapuk
untuk menggantikannya. Walau cuma dibekali latihan kilat, penampilan perdananya
tergolong sukses. Modal ini membuatnya percaya diri untuk bergabung dengan grup
keroncong Hoot Visen. Tjeng Bok juga mulai kerap mengikuti kontes nyanyi
keroncong. Karena sering keluar sebagai juara, dia pun dikenal sebagai “buaya
keroncong” di Bandung. Dia menapak karier di dunia hiburan, sekalipun ayahnya
tak merestui.
Tan
Tjeng Bok lahir di Jakarta pada 30 April 1899. Dari sembilan bersaudara, hanya
dia yang berkulit hitam sehingga mendapat sebutan Si Item atau Om Item.
Pasalnya, dia satu-satunya anak hasil perkawinan sang ayah yang seorang
keturunan Tionghoa, Tan Soen Tjiang, dengan gadis Betawi asal Jembatan Lima,
Jakarta, bernama Darsih. Karena tak beroleh restu orangtua, mahligai
rumahtangga orangtuanya hanya bertahan satu tahunan. Setelah itu, sang ayah
menikah lagi dengan gadis Tionghoa dan memberikan Tjeng Bok delapan adik tiri.
Tjen
Bok sempat mengenyam pendidikan di Hollandsch Chineesche School di Jalan
Braga tapi tak sampai tamat. Tingkah bengalnya yang kerap membolos membuat sang
ayah memutuskan agar Tjeng Bok berhenti sekolah. Ketika Tjeng Bok bergabung
dengan Orkes Keroncong Si Goler, pimpinan Mat Pengkor, ayahnya melarang. Karena
Tjeng Bok tak pernah menggubris, ayahnya yang dikenal jago silat serta
berperangai keras dan disiplin, memukulinya. Di usia 14 tahun, Tjeng Bok
minggat ke Jakarta, mencari ibunya di Jembatan Lima.
Di
Jakarta, perhatian Tjeng Bok mulai beralih dari keroncong ke pertunjukan wayang
China, semacam stamboel atau komedi bangsawan. Dia menjadi kacung rombongan Sui
Ban Lian, yang bermain tetap di Sirene Park di Jalan Hayam Wuruk. Merasa kurang
cocok, dia pindah kerja sebagai tukang putar proyektor di sebuah bioskop
keliling. Tjeng Bok kembali ke Bandung setelah sang ayah menjemput dan
membujuknya.
Bagi
Tan Tjeng Bok, kesenian seperti takdir yang tak dapat diingkarinya. Tak kapok
pernah dihajar sang ayah, pada suatu malam Imlek, Tjeng Bok bergabung dengan
grup lenong Si Ronda pimpinan Ladur. Sehabis Imlek, rombongan berencana
keliling ke daerah perkebunan-perkebunan di Jawa Barat. Sang ayah kali ini tak
dapat lagi menoleransi perilaku anaknya. Tjeng Bok diusir.
Tjeng
Bok jalan terus. Enam bulan pentas keliling bersama grup Si Ronda, sekembalinya
ke kota Bandung, Tjeng Bok bergabung dengan Stambul Indra Bangsawan. Awalnya
sebagai tukang membenahi panggung, tapi kemudian pemimpin pentas (toneel
directeur) Djaffar Toerki menariknya sebagai pemain pembantu. Tak kerasan,
dia beralih ke orkes Hoetfischer pimpinan Gobang, kembali menyusur karier
sebagai biduan.
Berpentas
keliling Jawa, saat di Bangil, Jawa Timur, pada suatu kesempatan dia bertemu
dengan Pyotr Litmonov atau Pedro, seorang keturunan Rusia yang memimpin grup
tonil atau opera Dardanella. Tahun 1920, Tjeng Bok pun bergabung dan mulai
menjalankan perannya sebagai “anak wayang”, sebutan untuk pemain panggung.
Dardanella,
berdiri pada 21 Juni 1926, adalah grup tonil (sandiwara) terkemuka saat itu
yang mendapat pengakuan internasional. Mereka pernah pentas di empat benua.
Menurut Yunus Yahya dalam Peranakan Idealis, di Dardanella inilah Tan
Tjeng Bok merengkuh puncak karier. Grup ini memang luar biasa. Bermain di
setiap kota berbulan-bulan. Ceritanya hebat-hebat, seringkali karya Shakespeare
macam Hamlet dan Romeo and Juliet.
Dalam
periode ini, Item hidup bagaikan dalam dongeng. Dia bahkan mendapat
julukan “Douglas Fairbanks van Java” –Fairbanks adalah bintang Hollywood
ternama. Dia juga memperoleh bayaran paling tinggi, seimbang dengan kualitas
permainannya. Tak heran jika dia hidup bergelimang harta. Dia punya mobil
Rolls-Royce dan kerap gonta-ganti istri. Selama hidupnya, Item mengaku
kawin-cerai hingga 100 kali.
Seperti
tonil yang dia mainkan, sebuah babak pasti ada akhirnya. Dardanella tutup layar
awal 1940-an. Tjeng Book harus gonta-ganti grup; dari sandiwara keliling
Orpheus pimpinan Manoch hingga Star pimpinan Afiat. Dalam The Komedie
Stambul karya Matthew Isaac Cohen, Tjeng Bok sempat berujar kalau
berpindah-pindah grup bagi artis stambul adalah hal biasa. “Untuk cerita-cerita
yang dimainkan, antara grup stambul satu dan yang lainnya di masa lalu semua
sama. Perbedaan di antara mereka hanya terletak pada pemain dan technical
effect,” kata Tjeng Bok.
Menjelang
pendudukan Jepang, di Jakarta berdiri perusahaan Java Industri Film (JIF) milik
The Theng Tjoen. Bersama JIF inilah, Item masuk babak baru. Pada 1941, dia
membintang film layar lebar pertamanya Srigala Hitam garapan Tan Tjoei
Hock, pemilik Studio Hajam Woeroek. Pada tahun yang sama dia membintangi film Si
Gomar, Singa Laoet, dan Tengkorak Hidoep.
Sempat
terhenti ketika Jepang masuk, dunia film Indonesia kembali menggeliat pada
1950-an. Pada masa inilah Item mulai menancapkan hegemoninya di layar lebar.
Dia membintangi sepuluh judul film. Puncaknya, 1970 sampai 1980, tak kurang dia
membintangi 25 film. Antara lain Melarat Tapi Sehat (1954), Judi (1955),
Peristiwa Surabaya Gubeng (1956), Badai Selatan (1960), dan Bengawan
Solo (1971). Selain bermain di layar lebar, Item kerap tampil di cerita
sandiwara televisi.
Sayang,
kesuksesan membuat Item lupa daratan. Dia gemar berfoya-foya. Gaya hidupnya
yang boros membuat dia menjalani masa senja dalam keadaan melarat, sehingga
pernah melakoni hidup sebagai kenek oplet dan tukang obat. Dari 100 perempuan,
tinggal Sarmini –perempuan asal Bojonegoro yang dinikahinya pada 1947– menemani
hingga akhir hayatnya. Dari Sarmini, Tjeng Bok beroleh dua anak, Nawangsih dan
Sri Anami.
Pada
15 Februari 1985, aktor tiga zaman ini meninggal dunia pada usia 85 tahun
karena sakit jantung. Delapan belas tahun kemudian, pemerintah mengakui
jasa-jasanya dengan menganugerahkan tanda jasa Bintang Budaya Paramadharma.
No comments:
Post a Comment